rss

Wanita-Wanita Indonesia

Bulan April memang biasa dikonotasikan sebagai bulannya wanita. Sebabnya apalagi jika bukan karena bertepatan dengan kelahiran pahlawan Wanita Indonesia, Raden Ajeng Kartini, yanga jatuh di tanggal 21.  Tapi apakah memang hanya RA Kartini yang kita kenal? Bagaimana dengan pejuang-pejuang wanita lain?

Kenyataannya, bumi pertiwi telah banyak menabur nilai-nilai perjuangan, kesetiaan, keteguhan, dan kemuliaan para pahlawan wanita.  Sosok mereka akan selalu lekat menembus generasi anak bangsa dari waktu ke waktu.  Tentu sejarah mereka menjadi suatu catatan nyata, betapa wanita negeri ini demikian berperan dalam membentuk karakter bangsa.  Dewasa ini, tentu zaman telah berubah, baik tantangan yang dihadapi maupun harapan yang hendak dicapai.  Apapun itu, tauladan yang mereka contohkan akan selalu pas bila disandingkan dengan berbagai permasalahan dari waktu ke waktu.

Meski saat ini April sudah sedikit terlewatkan, namun kita semua pasti menyadari bahwa tidak akan pernah ada kata terlambat untuk menggelorakan kembali semangat Kartini dan para pahlawan wanita lain tersebut.

Untuk semua wanita, berikut sekilas cerita tentang wanita-wanita yang harumnya terus abadi sampai saat ini.


RA KARTINI

Sering saya dengar tebak-tebakan seperti ini “Siapakah nama sebenarnya Ibu Kartini?”Ada yang menjawab lengkap dengan gelarnya, ada juga yang pede (baca: percaya diri) menjawab dengan nama kecilnya, atau ada juga yang males mikir menyebutkannya sebagai Nyonya Adipati Joyodiningrat (mengacu pada nama suami Beliau).  Semua jawaban tersebut dinyatakan salah, karena yang benar – dan ini agak nyeleneh, nama Beliau yang sebenarnya adalah Harum.  Ga percaya?  Yuk kita nyanyikan lagu Ibu Kita Kartini yang diciptakan oleh (Alm) W.R. Supratman.

Ibu Kita Kartini, Putri Sejati

Putri Indonesia, Harum Namanya

Nah benar kan..., nama Beliau sebenarnya adalah Harum.  Beragam ekspresi akan kita dapatkan dari jawaban ini.  Mulai raut wajah sebel karena dikerjain, tertawa terpingkal-pingkal, atau datar-datar saja – mungkin karena kebingungan.  Bagi saya, jawaban tersebut tidaklah salah, bahkan tepat tanpa sedikitpun meleset.

R.A. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 silam di Jepara – Jawa Tengah.  Terlahir di lingkungan keluarga bangsawan, Kartini kecil masih sangat patuh terhadap nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakatnya.  Hal ini tergambar dari penolakan bathinnya karena tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah setamatnya dari Sekolah Dasar, karena hendak dinikahkan oleh orang tuanya.  Ia terpukul, bathinnya meronta, namun karena adat istiadat dan bhakti kepada orang tua, Ia hanya diam dan menurut.

Untuk membunuh kesepian dan kehausan akan ilmu pengetahuan lantaran tidak diperbolehkan untuk meneruskan sekolah, Kartini yang pada saat itu baru berusia 12 tahun rajin membaca buku, koran berbahasa Belanda, serta aktif melakukan korespondensi dengan teman-temannya di Eropa.  Melalui aktivitas yang dilakukan bertahun-tahun itulah, Kartini mengenal nilai-nilai emansipasi wanita yang demikian luhur.  Ia berkeyakinan, emansipasi wanita tidak hanya dapat dinikmati oleh wanita – wanita Eropa saja, namun juga dapat tumbuh subur menjebol tatanan tradisi adat Jawa yang demikian kaku pada saat itu.

Pada satu kesempatan, Kartini pernah meminta beasiswa terhadap J.H. Abendanon – seseorang yang tinggal di negeri Belanda untuk mendapatkan beasiswa.  Permohonan itu pun terkabul.  Sayang sebelum sempat pergi ke Negeri Kincir Angin tersebut, Kartini keburu menikah dengan Bupati Rembang Adipati Joyoningrat untuk kemudian pindah ke Rembang mengikuti suaminya.

Setelah menikah, hasrat Kartini untuk membela emansipasi wanita semakin menggelora.  Suaminya mendukung hal tersebut, hingga Ia pun mantap mewujudkan impiannya dengan membuka sekolah khusus wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.  Namanya semakin melangit, walaupun hal itu tak sedikitpun membuat dirinya pongah dan tetap dekat dengan rakyat kecil, terutama anak-anak dan kaum wanita. 

Di tengah-tengah puncak perjuangannya, kabar duka berhembus dari Rembang, 17 September 1904, R.A. Kartini yang pada saat itu berusia dua puluh lima tahun meninggal dunia setelah melahirkan putera pertamanya.  Ia pergi dalam usia yang sangat muda.  Gema kesedihan itu tidak hanya menyelimuti tanah Jawa – tempat dimana Ia beradu pemikiran dan keyakinan tentang emansipasi, namun menyelusup jauh hingga Negeri Belanda.

Adalah J.H. Abendanon juga yang kemudian berpikir tentang perlunya pemikiran-pemikiran  Kartini mengenai emansipasi yang termaktub di setiap surat-suratnya untuk dikumpulkan dan kemudian dibukukan.  Setelah berhasil mengumpulkan lembar demi lembar, seolah-olah menyusun pemikiran R.A. Kartini lagi, terbitlah buku ”Door Duisternis Tot Licht” yang artinya ”Habis Gelap Terbitlah Terang”.  Buku ini tentu menjadi oase yang menyejukkan bagi kaum wanita di tanah air untuk berperan lebih membangun keluarga dan bangsa tanpa beban gender yang kerap memarginalkan mereka.


DEWI SARTIKA

Beralih ke Tanah Pasundan,  tepatnya Kota Bandung, Dewi Sartika lahir dari pasangan bangsawan Raden Somanegara dan Nyi Raden Rajapermas.  Dewi Sartika kecil sungguh beruntung, walaupun dilahirkan dalam tatanan adat yang sangat ketat, justru orang tuanya bersikukuh untuk menyekolahkan Ia di sekolah Belanda. 

Dunia pendidikan sungguh menggugah suasana kebatinan Dewi Sartika.  Dalam usia yang masih sangat belia, sekitar sepuluh tahun, Ia telah mengajarkan anak-anak desa menulis dan membaca menggunakan alat-alat seadanya.  Pecahan genting, potongan papan kandang ternak, dan sisa-sisa arang menjadi alat yang berguna bagi Dewi Sartika kecil dalam mengajar.  Masyarakat pun gempar, bagaimana bisa seorang anak perempuan mengajarkan banyak ilmu pengetahuan kepada masyarakat desa – sesuatu hal yang masih teramat langka di masa itu.

Setelah sempat pindah ke Cicalengka sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika kembali ke Bandung dan menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata.  Menjadi seorang istri, tidak berarti menjadikan dunia Dewi Sartika hanya terkungkung pada urusan suami dan keluarganya.  Ia tetap berpendapat, bahwa melalui pendidikan dan keterampilan lah, seseorang – khususnya wanita akan semakin banyak memperoleh kemuliaan. 

Tahun demi tahun berlalu dengan semakin banyaknya sekolah-sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika tumbuh subur di Jawa Bagian Barat.  Pengabdiannya, bahkan diganjar bintang jasa oleh pemerintah Hindia Belanda.  Pada tahun 1947, dalam suasana pedesaan yang tenang di Tasikmalaya, Dewi Sartika menghembuskan nafas terakhir dan dimakamkan melalui upacara pemakaman yang sederhana.  Tiga tahun kemudian, makam Dewi Sartika dipindahkan ke Bandung agar lebih mudah dijangkau.  Wanita pendidikan ini telah tiada, wanita pejuang ini memang telah pergi untuk selamanya.  Namun semangat dan nilai yang dimilikinya telah membuka tabir baru bagi wanita-wanita Indonesia untuk menjadi lebih mulia bagi sesama.


TJUT NYAK DIEN

Apabila bulan tersenyum / Di atas bumi merdeka / Dia adalah wajah Tjut Nyak Dhien / Apabila angin berembus / Membelai Bumi Mugo yang Suci / Dia adalah nafas Tjut Nyak Dhien

Tjut Nyak Dhien adalah legenda.  Sosok yang lahir di Lampadang, Aceh pada tahun 1848  tak ubahnya sosok malaikat perang wanita bagi penjajah Belanda yang berani menduduki tanah Aceh.  Di sisi lain, Ia adalah dewi welas asih yang kerap membagi ilmu membaca Al Quran kepada anak-anak di sekitarnya. 

Tjut Nyak Dhien memang digariskan menghabiskan sebagian hidupnya di medan tempur.  Setelah suami pertamanya meninggal akibat melawan Belanda, Tjut  Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar yang tak lain juga merupakan sosok pejuang.  Dalam buku Paul Van’t Veer – De Atjeh Oorlog, mencatat bahwa Tjut  Nyak Dhien pernah terlibat dalam salah satu dari empat perang terdahsyat di Tanah Aceh, yang merenggut nyawa Mayor Jenderal Belanda JHR Köhler.

Tjut Nyak Dhien terkenal keras dan tegas, pada suatu kesempatan Ia tak segan menghukum mati salah seorang prajuritnya yang terbukti menjadi antek-antek Belanda.  Sayangnya kisah epik perlawanan gigih Tjut  Nyak Dhien kepada penjajah juga harus berakhir melalui pengkhianatan orang dekatnya – Pang Laot Ali.  Ia ditangkap pada saat hujan lebat di Babah Krueng Manggeng – Aceh Barat.

Tjut  Nyak Dhien secara fisik memang telah berada di dalam genggaman penjajah, namun tidak dengan semangatnya.  Sosoknya yang patriotik telah mencetak sosok-sosok baru yang lebih segar dan militan, sesuatu hal yang sangat ditakuti oleh Belanda.  Untuk menghapus Tjut  Nyak Dhien dari Bumi Serambi Mekah, Belanda sampai mengungsikannya ke Sumedang.  Di tempat yang baru Ia lebih dikenal sebagai Ibu Perbu (Ibu Ratu).  Pada 1908, Ia meninggal dunia dan dimakamkan di kompleks makam para Raja – Gunung Puyuh.  Dan apabila bulan tersenyum di atas tanah merdeka, dialah wajah Tjut  Nyak Dhien, demikianlah bangsa ini mengenangnya, seperti yang dituliskan oleh Budayawan W.S. Rendra.

1 comments:

CaraMenjadiAgenPulsa on 13 Agustus, 2013 19:36 mengatakan...

Info yang bagus buat ane n bermanfaat.Thanks
Oh ya sekalian numpang link ni gan...mohon jangan dihapus ya gan...

Ini Link-nya :

Bisnis Pulsa Murah
Harga Pulsa Murah
Dealer Pulsa Murah
Agen Pulsa Murah
Cara bisnis Pulsa
Cara menjadi agen pulsa
tips bisnis pulsa


Posting Komentar

 

Pembaca

Money Online